Oleh : Darma Yanto
Sejarah DPR adalah kisah panjang tentang kapal demokrasi yang kerap oleng diterpa gelombang. Ia pernah berlayar gagah pasca Pemilu 1955, namun karam di karang Demokrasi Terpimpin ketika Presiden Soekarno menurunkan jangkar kekuasaan dan menggantinya dengan kapal baru bernama DPR Gotong Royong. Kapal itu bukan lagi perahu rakyat, melainkan bahtera yang nakhodanya ditunjuk langsung dari istana, sekadar hiasan di dermaga kekuasaan.
Reformasi kemudian datang bak angin segar yang merombak haluan. UUD 1945 diamandemen agar kapal bernama DPR tak lagi sekadar layar dekoratif, melainkan kokoh berdiri sejajar dengan eksekutif. Dari sanalah lahir keyakinan bahwa Presiden tak lagi punya palu untuk menghancurkan kapal parlemen, sebab mandatnya berlabuh langsung di dermaga rakyat. Sejarah bahkan mencatat, ketika Abdurrahman Wahid mencoba membekukan DPR/MPR, justru dirinya yang terhempas dari kursi kepresidenan.
Maka membayangkan pembubaran DPR di masa kini ibarat membayangkan mercusuar demokrasi dipadamkan. Gelap gulita akan menyelimuti: legislasi terhenti, anggaran lumpuh, keseimbangan kuasa runtuh, dan suara rakyat terbungkam di palung sejarah. Demokrasi pun tak lagi perahu, melainkan rakit rapuh yang mudah dihanyutkan arus tirani.
Karena itu, pekikan mahasiswa yang menyeru “Bubarkan DPR!” janganlah dilihat semata sebagai tuntutan literal. Ia lebih menyerupai dentuman genderang protes, tanda frustrasi kolektif atas wakil rakyat yang dianggap alpa dari tugas sucinya: menjadi jembatan antara suara rakyat dan kebijakan negara.