Oleh : Darma Yanto.

Di sebuah tikungan sejarah, kita pernah mengenal intelektual sebagai api. Api yang menyala di dada para mahasiswa, pemuda, kaum terdidik, dan siapa saja yang pernah belajar membaca tanda zaman. Mereka bicara tentang keadilan dengan suara lantang, menantang tirani dengan langkah tegas, menuliskan mimpi bangsa dengan tinta perjuangan. Idealisme kala itu seperti pelita, meski kecil, mampu menembus gelap dan memberi arah.

Namun, seiring waktu, pelita itu perlahan meredup, bukan padam, melainkan tertutup asap lapar. Idealisme yang dulu berbicara tentang nasib rakyat, kini seringkali tergeser oleh aroma nasi bungkus yang mengepul hangat. Intelektual tak lagi selalu bicara tentang gagasan besar, melainkan tentang siapa yang akan menanggung konsumsi rapat, siapa yang membagi uang transport, atau siapa yang menyediakan “sekepal nasi bungkus” setelah orasi.

Nasi bungkus itu sederhana, beras putih, sayur, sedikit lauk. Namun ia kini menjelma simbol baru, bagaimana perjuangan bisa disulap menjadi transaksi perut. Sebuah metafora tentang pergeseran nilai, dari ruang diskusi yang membara ke meja perjamuan yang meninabobokan. Dari keberanian menantang ketidakadilan ke kenyamanan menunggu jamuan selesai.

Kita bisa tersenyum getir. Dahulu, sejarah menulis bagaimana buku-buku tebal dan pamflet revolusioner menjadi senjata. Kini, di banyak ruang pergerakan, senjata itu berganti dengan daftar konsumsi dan daftar hadir. Intelektual yang semestinya melahirkan ide-ide besar, justru kerap terjebak pada godaan kecil: “selama ada nasi bungkus, kita tetap berkumpul.”

Namun, mungkin bukan nasi bungkus itu yang bersalah. Ia hanya sekadar makanan, tanda bahwa manusia memang butuh makan. Yang bersalah adalah ketika intelektual rela menukar nilai dengan rasa kenyang, menukar api perjuangan dengan asap dapur.

Maka, persoalannya bukan sekadar pada nasi bungkus, melainkan pada keberanian menjaga idealisme agar tidak terbungkus di dalamnya. Sebab, jika intelektual terus terperangkap di lipatan kertas minyak dan karet gelang itu, sejarah hanya akan mengenang mereka bukan sebagai pembakar obor, melainkan sebagai pengunyah nasi bungkus yang kehilangan arah.

Dan bangsa ini, yang haus akan cahaya, akan terus menunggu, kapan intelektual berani keluar lagi dari bungkusnya, dan kembali menyajikan santapan ide yang mengenyangkan jiwa, bukan sekadar perut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *